Laksana Hujan

Entah untuk keberapa kalinya, sajak ini bicara soal hujan dan rasa. Habis bagaimana, keduanya melekat dalam wujud yang satu dan barangkali hidupku memang melulu soal itu. Tapi khusus kali ini, keduanya tertulis sebagai teman di penghujung Oktober. Perasaan datang seperti hujan. Ia memenuhi tugasnya untuk hadir sebagai takdir, yang menjelma dalam bentuk kebetulan-kebetulan. Kau boleh duga, boleh juga tidak. Perasaan jatuh seperti hujan. Dengan tulus ia terjun tanpa niat mengganggu, apalagi menyakiti. Hanya saja waktu dan keadaan yang terkadang menjadikannya salah. Kau boleh kesal, boleh juga tidak. Perasaaan membelai lembut seperti hujan. Tapi kau harus terima konsekuensi bahwa ia membuatmu basah, dan boleh jadi kau akan lelah menyeka. Kau boleh berteduh, boleh juga tidak. Hujan turun dari langit tanpa mengharap bumi akan membalasnya. Kemudian menanyakan kepadamu masihkah menuntut terbalasnya rasa. Lewat keikhlasan, ia saksikan bahwa akan ada masa saat butir-buti