Muak
Aku muak denganmu dan
kau harus tau.
Aku muak dengan
perasaan carut-marut saat menemukan wajahmu di tengah kerumunan. Sapa hangat mentari
menjadi kesia-siaan dengan tawaran menu sarapanmu yang tak jauh-jauh dari
kecemasan dan kegelisahan. Berhentilah mengumbar senyum kepalsuan yang syarat
akan mau dan maksud.
Aku muak dengan
tatapan rendah itu. Kita menginjak tanah yang sama dan berdarah dengan merah
yang serupa. Strata sosial hanya tangga imaji yang dibuat agar kaum akar rumput
tak beranjak dari dasar kehinaan. Ingin kupaksa kau menggunakan kacamata kuda secara
vertikal agar punya sudut pandang manusiawi.
Aku muak dengan nyalimu
yang kopong seperti kardus bekas. Kau hanya kucing jalanan di balik
panggung tempatmu biasa memamerkan topeng singa. Pertunjukanmu telah usai dan
penonton tak sabar menunggumu menutup korden. Kau tak perlu umbar kisah berburu
sebab sebab parasit tak dihitung dalam kelompok pemangsa.
Aku muak dengan kuliah
nirfaedah dari bibir berbusa itu. Aku tidak sedang dalam wisata kuliner abal dan
tak sesuap omong kosong ingin kutelan. Sungguh kau bukan perkutut, kicaumu
hanya memadatkan kebisingan bak toa tua. Satu-satu yang layak kau tiru dari
burung hanyalah memahat pohon dengan paruh lancipmu.
Aku muak dengan dadaku
yang menjebak kata-kata. Jika kau kerap menubrukkan satir, semestinya aku tak
perlu mengkhawatirkan norma eufemisme. Aku tidak sedang membakar bediang, tak
perlu ada asap sesak yang kuhirup.
Aku muak dengan
kenyataan bahwa baik-baik saja adalah kemewahan yang sebenarnya terlalu mahal
untuk dirasa. Mereka mengobralnya dengan senyum getir yang memoles kesadaran
bahwa neraka itu ada; dan kau batu bara yang menyulut apinya.
Aku tak mau muak
dengan diriku sendiri yang terlalu peduli dengan tingkah konyolmu. Namun aku
muak denganmu dan kau harus tau.
Shibi, 13/10/17
gambar dari sini
Comments
Post a comment