Gincu
Aku bingung bagaimana
mesti memandang potret narsisme di dinding dinding generasi portal. Satu mata
berkedip menjaring perhatian dan satu lagi melotot “lihat apa kau!”. Haruskah
kukunci kelopak setiap kali bertemu topeng penuh gincu?
Baiklah, menjaga
memang bukan tugas satu pihak. Namun sepatutnya kita mengenal kebijaksanaan
lokal atas apa yang dianggap proporsional. Di sudut kota orang biasa mendendangkannya: yang
sedang-sedang saja.
Terserah mereka sebut
merah anggur atau jingga senja, yang layak dihargai dari bibir adalah ucap
kejujuran. Entah apapun yang terpoles pada lesung pipi itu, yang perlu
diperhatikan adalah ekspresi ketulusan.
Wajahmu, wajahku,
wajahnya, semua diukir dalam bentuk masing-masing untuk saling mengenal. Maka
tak perlu berlebih menabur kapur.
Mukaku, mukamu,
mukanya, semua terpasang untuk tersungkur. Dahi tertunduk dan hidung mencium
bau tanah. Lantas langit apa yang perlu ditatap silau?
***
Teruntuk kamu, terima
kasih untuk menjadi apa adanya, saat sekelilingmu berisik menanyakan ada
apanya. Tetaplah cantik seperti itu, terlepas dari bagaimana orang
mendefinisikannya.
Biar kuberi tahu. gigi
gingsulmu itu sudah jadi ramuan yang pas untuk mendikte arti senyum manis. Dua
puluh tahun lagi, barangkali aku tak akan ingat bagaimana pukau-pikat dari
parasmu. Namun yang tidak akan kulupa ialah bagaimana lengkung itu membuatku
tersipu.
Embong Kaliasin,
16/09/17
gambar dari sini
Wah terbaik sih ini py. Seriusan ditunggu bukunya! XD
ReplyDelete:-)
Deletebat siapa kak? :' so sweet sekaliiiiiii
ReplyDeleteno one :)
Delete