Menunggu Pagi

Aku terjaga menghabiskan malam, membersamai benda langit
yang menolak tertelan gelap. Lengang, tak ada yang berani menantang sunyi, tak
terkecuali lembar daun yang enggan bergesekan. Kusibak selimut udara yang
menggenapi ruang. Dalam sepetak kecil kamar itu, kusangga badan di atas kaki
mungil. Jemariku mengkerut kedinginan.
Bukan syair bukan puisi, bibirku membisikkan bait-bait sesengguk. Aku sadar bahwa terkadang rasa tak perlu disampaikan dengan kata-kata. Ragaku ingin menggapai, tapi dayaku hanya sebatas tangkup tangan di depan dada. Tak mampu menatap, aku hanya menghadapkan wajah.
Bisakah kau dengar? Bak jantung yang tak pernah berhenti, perasaanku terus berdegup – memompa energi ke seluruh tubuh untuk hidup. Tanpanya aku keronta, tanpanya aku lunglai. Cinta membawa candu di lorong-lorong nadi. Menyebar ke semesta tubuh yang terus menagih. Di sela hela, nafasku memburu hirup rindu.
Kau tahu jelas. Aku memang berharap, seperti ilalang kering yang menatap awan mendung. Namun harapan it…
Bukan syair bukan puisi, bibirku membisikkan bait-bait sesengguk. Aku sadar bahwa terkadang rasa tak perlu disampaikan dengan kata-kata. Ragaku ingin menggapai, tapi dayaku hanya sebatas tangkup tangan di depan dada. Tak mampu menatap, aku hanya menghadapkan wajah.
Bisakah kau dengar? Bak jantung yang tak pernah berhenti, perasaanku terus berdegup – memompa energi ke seluruh tubuh untuk hidup. Tanpanya aku keronta, tanpanya aku lunglai. Cinta membawa candu di lorong-lorong nadi. Menyebar ke semesta tubuh yang terus menagih. Di sela hela, nafasku memburu hirup rindu.
Kau tahu jelas. Aku memang berharap, seperti ilalang kering yang menatap awan mendung. Namun harapan it…