Tujuh Sentimeter
Punggungguku merebah di hamparan rumput. Kujadikan lenganku sebagai bantalan kepala. Sepoi angin memimpin himne ilalang yang bergoyang dengan senandung syahdu – membelai lembut tubuh yang sedang mencari ketenangan ini. Dari dulu aku selalu menikmati suasana bukit ini. Kumanjakan mataku menikmati jagat semesta. Pemandangan perbukitan malam hari memang indah, tapi jauh lebih menawan apa yang kutatap saat ini di atas sana. Kilau melengkung yang tergantung anggun di tepi langit. Sungguh bukan rembulan, karena aku sedang membayangkan sebuah senyuman. Tujuh sentimeter, senyum itu terkembang menghiasi wajah manismu. Memberikan keteduhan pada perasaan yang telah basah kuyup. Kudengar di luar sana begitu banyak yang mengejarmu. Mereka berlomba lomba menarik perhatian agar bisa berada di sisimu. Tapi tetap saja kau begitu kaku dan enggan terbuka. Dibalik dinginmu kau sembunyikan keindahan itu. Melengkung anggun seperti pelangi terbalik. Menghubungkan timur dan barat dengan warna keceriaan. Sejuk